Menurut Imâm al-Ghazâlî ikhlas memiliki hakikat, prinsip dan kesempurnaan. Prinsip ikhlas adalah niat, sebab dalam niat itu terdapat keikhlasan. Sedangkan hakikat ikhlas adalah kemurnian niat dari kotoran apapun yang mencampurinya. Kesempurnaan ikhlas adalah kejujuran. Ikhlas mempunyai tiga pilar yaitu: niat, keikhlasan niat dan kejujuran.
Pilar yang pertama: Niat.
Allah berfirman:
وَلاَ تَطْرُدِ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيْدُوْنَ وَجْهَهُ. (الأنعام: ٥۲)
“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru kepada Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka mengehendaki keridhaan-Nya.”.
Al-Ghazâlî berpandangan bahwa hakikat niat adalah kemauan yang mendorong kekuatan yang lahir dari pengetahuan. Penjelasannya bahwa seluruh pekerjaan seseorang tidaklah absah tanpa kekuatan, kemauan dan ilmu. Ilmu menggerakkan kemauan. Kemauan merupakan motivasi dan pendorong kekuatan dan kekuatan adalah alat, sarana dan pembantu kemauan untuk menggerakkan seluruh organ tubuh.
Niat itu adalah, kecenderungan atau kemauan kuat yang merupakan motivator bagi kekuatan. Jika suatu amal perbuatan dapat terealisasi dengan dorongan niat, maka niat dan amal merupakan ibadah yang sempurna. Niat merupakan satu dari dua sisi ibadah, namun merupakan sisi yang terbaik dan paling vital. Karena amal perbuatan dengan organ tubuh tidak akan mengenai sasaran, kecuali punya pengaruh dalam hati, yakni agar cenderung pada kebaikan dan jauh dari keburukan. Sehingga berpikir dan berdzikir mampu mengantarkan pada kesenangan jiwa dan ma'rifat, yang keduanya merupakan faktor bagi kebahagiaan di akhirat. Jadi, tujuan dan maksud dari meletakkan dahi di atas tanah bukanlah semata-mata peletakan dahi di atas tanah. Tetapi, ketundukan hati, sedangkan hati itu dapat dipengaruhi dengan perbuatan-perbuatan organ tubuh.
Tujuan zakat itu bukan untuk menghilangkan hak milik, tetapi untuk memusnahkan kehinaan sifat kikir. Yakni, memotong ketergantungan hati dengan harta-benda. Tujuan dari penyembelihan binatang kurban bukanlah daging dan darahnya, tetapi rasa ketakwaan hati dengan mengagungkan dan membesarkan syiar-syiar Allah Swt. Dan niat merupakan kecenderungan hati pada kebaikan. Dimana tujuan utamanya adalah untuk mempengaruhi hati. Karena itulah seluruh amal hati mewarisi pengaruh dhahirnya, namun bukan amal anggota badan. Perbuatan anggota badan tanpa kehadiran hati merupakan hal yang sia-sia belaka.
Niat memiliki keutamaan, karena di situlah inti tujuan itu bersemayam dan berpengaruh. Karena itu, banyak-banyaklah berniat dalam seluruh amal perbuatan, bahkan seseorang bisa beramal satu amaliah saja dengan niat yang banyak. jika kemauan dan kecintaannya itu benar, niscaya ia akan diberi petunjuk jalannya. Misalnya, jika seseorang masuk dan berdiam di dalam masjid adalah lbadat, dan itu bisa dilakukan dengan delapan macam niat:
Pertama, seseorang yakin bahwa masjid adalah rumah Allah (baitullâh). Orang yang memasuki masjid berarti datang menemui Allah dan pasti berniat untuk berjumpa dengan Allah SWT.Kedua, niat untuk mengikat diri dengan Allah SWT.(murabathah). Maksudnya adalah menunggu datangnya shalat setelah melaksanakan shalat sebelumnya. Ketiga, niat i'tikaf. Maksudnya adalah mencegah pendengaran, penglihatan dan organ tubuh dari kebiasaan bergerak-gerak i’tikaf adalah bentuk lain dari puasa. Keempat, niat untuk khalwat dan meninggalkan segala kesibukan untuk merenungkan kehidupan akhirat, serta cara mempersiapkan diri menghadapinya. Kelima, memusatkan diri untuk dzikir dan mendengarkan dzikir, atau memperdengarkannya. Keenam, bermaksud untuk mengamalkan ilmu, memberi peringatan kepada orang yang keliru ketika melakukan shalat, beramar ma'ruif nahi munkar, sehingga dengan demikian kebaikan itu terwujud bersamanya. Ketujuh, meninggalkan dosa-dosa karena malu kepada Allah Swt. dengan jalan melakukan niat yang baik dalam diri, perkataan dan amal perbuatan, sehingga orang yang berbuat dosa pun merasa malu. Kedelapan, berniat mengambil faedah pada saudara seakidah, sebab yang demikian itu rnerupakan simpanan berharga bagi kehidupan akhirat.
Pilar yang kedua: keikhlasan niat
Menurut Imâm al-Ghazâlî, ikhlas adalah pemusatan satu motivasi. Lawannya adalah dualisme. Yakni dualisme dalam motivasi, sehingga setiap hal yang berkembang selalu dicampuri dengan unsur lain. Apabila terbebas dari segala bentuk campur unsur lain bisa disebut murni. Seperti penjelasan di atas, bahwa niat itu merupakan pendorong. Orang beramal tanpa riya' itu disebut mukhlish. Orang yang beramal hanya karena Allah disebut mukhlash. Namun ada istilah khusus bagi keduanya. Ingkar misalnya, adalah bentuk kecenderungan, namun kecenderungan dalam konteks kebatilan. Rasa ikhlas itu dapat punah pula karena motif-motif dan tujuan-tujuan lainnya. Orang yang berpuasa kadang-kadang bermaksud untuk memperoleh perlindungan, kesehatan yang prima yang bisa dilahirkan dengan berpuasa. Orang yang menunaikan ibadat haji mungkin saja bertujuan agar sehat dengan gerakan-gerakan tubuh dalam perjalanannya itu. Atau dia lari dari problem keluarga, atau lari dari penganiayaan musuh ataupun kejenuhan bersama keluarga. Orang mandi dengan berniat agar berbau sedap. Beri'tikaf untuk memperingan beban tempat tinggal. Dia berpuasa untuk memperingan beban untuk memasak dan membeli makanan atau menjenguk orang sakit agar dijenguk pula bila sakit. Niat dan tujuan semacam itu kadang-kadang lepas dan kadang-kadang bercampur-aduk dengan tujuan ibadah. Jika salah satu tujuan seperti disebutkan di atas terbesik dalam sebuah amal perbuatan, itu artinya keikhlasan telah punah. Ini merupakan suatu hal yang cukup alot dan sulit.
Pilar yang ketiga: kejujuran.
Kejujuran adalah kesempurnaan ikhlas. Menurut Imâm al-Ghazâlî ada enam tingkatan kejujuran. Orang yang mencapai derajat kejujuran yang sempurna layak disebut sebagai orang yang benar-benar jujur, antara lain:
Pertama, jujur dalam perkataan, di setiap situasi, baik yang berkaitan dengan masa lalu, masa sekarang dan yang akan datang
Kedua, kejujuran dalam niat. Hal itu berupa pemurnian, yang menjurus pada kebaikan jika di dalamnya terdapat unsur campuran lainnya, berarti kejujuran kepada Allah Swt. telah sirna.
Ketiga, kejujuran dalam bertekad. Seseorang bisa saja mempunyai tekad yang bulat untuk bersedekah bila dikaruniai rezeki. Juga bertekad untuk berbuat adil bila dikaruniai kekuasaan. Namun adakalanya tekad itu disertai dengan kebimbangan, tetapi juga merupakan kemauan bulat yang tanpa keragu-raguan. Orang yang mempunyai tekad yang bulat lagi kuat disebut sebagai orang yang benar-benar kuat dan jujur.
Keempat, memenuhi tekad. Seringkali jiwa dibanjiri dengan kemauan yang kuat pada mulanya, tetapi ketika menginjak tahap pelaksanaan, bisa melemah. Karena janji tekad yang bulat itu mudah, namun menjadi berat ketika dalam pelaksanaan.
Kelima, kejujuran dalam beramal. Tidak mengekspresikan hal-hal batin, kecuali batin itu sendiri memang demikian adanya. Artinya, perlu adanya keselarasan dan keseimbangan antara yang lahir dan yang batin. Orang yang berjalan tenang misalnya, menunjukkan bahwa batinnya penuh dengan ketentraman. Bila ternyata tidak demikian, dimana kalbunya berupaya untuk menoleh kepada manusia, seakan-akan batinnya penuh dengan ketentraman, maka hal itu adalah riya'.
Keenam, kejujuran dalam maqam-maqain agama. Ini adalah peringkat kejujuran tertinggi. Seperti maqam takut (khauf), harapan (raja'), cinta (hub), ridha, tawakal dan lain-lain.
Seluruh maqam tersebut memiliki titik tolak, hakikat dan puncak akhir (klimaks). Sebab dinyatakan pula, "Ini adalah rasa takut yang benar (al-Khauf al-Shâdq)", dan, "Ini adalah kesenangan yang jujur/ benar (al-Syahwah al-shâdiq). Inilah tingkatan-tingkatan kejujuran. Orang yang mampu mewujudkannya secara keseluruhan, dialah orang yang benar-benar jujur. Orang yang belum mampu mencapai sebagian peringkat kejujuran, tingkatan dirinya sesuai dengan kadar peringkat kejujuran yang telah digapainya. Di antara sejumlah kejujuran adalah pembenaran kalbu bahwa Allah Swt. adalah Maha Pemberi rezeki, inilah yang perlu diingat.
Silahkan Baca Juga Artikel yang Terkait:
ma kasih yaaaaaa