gambar

Blog Archives

Twitter Sufisme News

Selasa, 21 Juni 2011

3. KETEGUHAN JIWA DIBALIK BENTENG TAKDIR



KEKUATAN SEMANGAT (AZAM, CITA-CITA, IKHTIAR) TIDAK MAMPU MEMECAHKAN BENTENG TAKDIR.

Kalam Hikmah yang pertama menyentuh tentang hakikat amal yang membawa kepada pengertian tentang amal zahir dan amal batin. Ia mengajak kita memerhatikan amal batin (suasana hati) yang berhubungan dengan amal zahir yang kita lakukan. Sebagai manusia biasa hati kita cenderung untuk menaruh harapan dan meletakkan pergantungan kepada amal zahir. Hikmah kedua menelaskan tentang membuka pandangan kita kepada suasana asbab dan tajrid. Bersandar seseorang yang melihat kepada keberkesanan sebab dalam melahirkan akibat. Apabila terlepas dari waham sebab musabab baharulah seseorang itu masuk kepada suasana tajrid.

Dua Hikmah yang lalu telah memberi pendidikan yang halus kepada jiwa. Seseorang itu mendapat kefahaman bahwa bersandar kepada amal bukanlah jalannya. Pengertian yang demikian melahirkan kecenderungan untuk menyerahkan dengan bulat kepada Allah s.w.t. Sikap menyerah tanpa persediaan kerohanian bisa menggoncangkan iman. Agar orang yang sedang meninggi semangatnya tidak salah memilih jalan, dia diberi pengertian mengenai  kedudukan asbab dan tajrid. Pemahaman tentang maqam asbab dan tajrid membuat seseorang mendidik jiwanya agar menyerah kepada Allah s.w.t dengan cara yang benar dan selamat bukan menyerah dengan cara yang salah.

Hikmat ke tiga ini pula mengajak kita merenung kepada kekuatan benteng takdir yang memagari segala sesuatu. Ketika berbicara tentang ahli tajrid, kita dapati ahli tajrid melihat kepada kekuasaan Tuhan yang berpengaruh kepada sesuatu sebab dan menetapkannya dalam melahirkan akibat Ini bermakna semua kejadian dan segala hukum mengenai sesuatu perkara, berada di dalam pentadbiran Allah s.w.t. Dia yang menguasai, mengatur dan mengurus setiap makhluk-Nya. Urusan ketuhanan yang menguasai, mengatur dan mengurus atau suasana pentadbiran Allah s.w.t itu dinamakan takdir. Tidak ada sesuatu yang tidak dikuasai, diatur dan diurus oleh Allah s.w.t. Oleh itu tidak ada sesuatu yang tidak termasuk di dalam takdir.

Manusia terhijab dari memandang kepada takdir karena waham sebab musabab. Kedirian seseorang menjadi alat sebab musabab yang paling berkesan menghijab pandangan hati pada melihat takdir. Keinginan, cita-cita, angan-angan, semangat, akal fikiran dan usaha menutupi hati dari melihat kepada kekuasaan, aturan dan urusan Tuhan. Hijab kedirian itu jika disimpulkan ia boleh dilihat sebagai hijab nafsu dan hijab akal. Nafsu yang melahirkan keinginan, cita-cita, angan-angan dan semangat. Akal menjadi tentera nafsu, menimbang, merancang dan mengadakan usaha dalam mensukseskan apa yang dicetuskan oleh nafsu. Jika nafsu inginkan sesuatu yang baik, akal bergerak kepada kebaikan itu. Jika nafsu inginkan sesuatu yang buruk, akal itu juga yang bergerak kepada keburukan. Dalam banyak perkara akal tunduk kepada arahan nafsu, bukan menjadi penasihat nafsu.

Oleh sebab itulah di dalam menundukkan nafsu tidak boleh meminta pertolongan akal.
Dalam proses memperoleh penyerahan secara menyeluruh kepada Allah s.w.t terlebih dahulu akal dan nafsu perlu ditundukkan kepada kekuatan takdir. Akal mesti mengakui kelemahannya di dalam membuka simpulan takdir. Nafsu mesti menerima hakikat kelemahan akal dalam perkara tersebut dan ikut tunduk bersama-samanya. Bila nafsu dan akal sudah tunduk, barulah hati bisa beriman dengan sebenarnya kepada takdir.

Beriman kepada takdir seharusnya melahirkan penyerahan secara berpengetahuan bukan menyerah kepada kejahilan. Orang yang bodoh tentang hukum dan perjalanan takdir tidak bisa berserah diri dengan sebenarnya kepada Allah s.w.t kerana dibalik kebodohannya itulah nafsu akan menggunakan akal untuk menimbulkan keraguan terhadap Allah s.w.t. Rohani orang yang bodoh dengan hakikat takdir itu  masih terikat dengan sifat-sifat kemanusiaan biasa. Dia masih melihat bahwa makhluk bisa mendatangkan kesan kepada kehidupannya. Tindakan orang lain dan kejadian-kejadian sering mengacau jiwanya. Keadaan yang demikian menyebabkan dia tidak dapat bertahan untuk terus berserah diri kepada Tuhan. Sekiranya dia memahami tentang hukum dan peraturan Tuhan dalam perkara takdir, tentu dia dapat bertahan dengan iman. Hadist menceritakan tentang takdir:

Seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah s.a.w, “Wahai Rasulullah, apakah iman?” Jawab Rasulullah s.a.w, “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan Hari Kemudian. Juga engkau beriman dengan Qadar baiknya, buruknya, manisnya dan pahitnya adalah dari Allah s.w.t”.
{ Maksud Hadist }
Pandangan kita sering keliru dalam memandang kepada takdir yang berlaku. Kita dikelirukan oleh istilah-istilah yang biasa kita dengar. Kita cenderung untuk merasakan seolah-olah Allah s.w.t hanya menentukan yang dasar saja, sementara yang halus-halus ditentukan-Nya kemudian, yaitu seolah-olah Dia  Melihat dan Mengkaji perkara yang terjadi baru Dia membuat keputusan. Kita merasakan apabila kita berjuang dengan semangat yang gigih untuk mengubah perkara dasar yang telah Allah s.w.t tetapkan dan Dia Melihat kegigihan kita itu dan bersimpati dengan kita lalu Dia pun membuat ketentuan baru supaya terlaksana takdir baru yang sesuai dengan perjuangan kita. Kita merasakan kehendak dan tadbir kita berada di depan, sementara Kehendak dan Tadbir Allah s.w.t mengikut di belakang. Anggapan dan perasaan yang demikian bisa membawa kepada kesesatan  dan kedurhakaan yang besar, karena kita meletakkan diri kita pada posisi  Tuhan dan Tuhan pula kita letakkan pada posisi hamba yang menurut telunjuk kita.

Untuk menjauhkan diri dari kesesatan dan kedurhakaan yang besar itu, kita perlu sangat memahami soal sunnatullah atau ketentuan Allah s.w.t. Segala kejadian berlaku menurut ketentuan dan pentadbiran Allah s.w.t. Tidak ada yang berlaku secara kebetulan. Ilmu Allah s.w.t meliputi yang awal dan yang akhir, yang azali dan yang abadi. Apa yang dizahirkan dan apa yang terjadi telah ada pada Ilmu-Nya.

Tidak ada sesuatu kesusahan (atau bala  bencana) yang ditimpakan di bumi, dan tidak juga yang menimpa diri kamu, melainkan telah tertulis di dalam Kitab (pengetahuan Kami)  sebelum Kami menjadikannya; sesungguhnya  yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Ayat 22 : Surah al-Hadiid)

Maha Berkat (serta Maha Tinggilah kelebihan) Tuhan yang menguasai pemerintahan (dunia dan akhirat); dan memanglah Ia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu; - ( Ayat 1 : Surah al-Mulk )

Dan Yang telah mengatur (keadaan makhluk-makhluk-Nya) serta memberikan hidayah  petunjuk (ke jalan keselamatannya dan kesempurnaannya); ( Ayat 3 : Surah al-A’laa)

Dan Kami jadikan bumi memancarkan mataair-mataair (di sana sini), lalu bertemulah air (langit dan bumi) itu untuk (melakukan) satu perkara  yang telah ditetapkan. ( Ayat 12 : Surah al-Qamar )

Segala sesuatu, adalah termasuk dalam ketentuan Allah s.w.t. Apa yang kita istilahkan sebagai perjuangan, ikhtiar, doa, kekeramatan, mukjizat dan lain-lain semuanya adalah ketentuan Allah s.w.t. Pagar takdir mengelilingi segala-galanya dan tidak ada sebesar zarah pun yang mampu menembus benteng takdir yang maha teguh. Tidak terjadi perjuangan dan ikhtiar melainkan perjuangan dan ikhtiar tersebut telah ada dalam pagar takdir. Tidak berdoa orang yang berdoa melainkan berdoa itu adalah takdir untuknya yang sesuai dengan ketentuan Allah s.w.t untuknya. Perkara yang didoakan juga tidak lari dari ketentuan Allah s.w.t. Tidak berlaku kekeramatan dan mukjizat melainkan kekeramatan dan mukjizat itu adalah takdir yang tidak menyimpang dari pentadbiran Allah s.w.t. Tidak menghirup satu nafas atau berdenyut satu nadi melainkan  adalah takdir yang menzahirkan urusan Allah s.w.t pada azali.
 
Kami datang dari Allah dan kepada Allah kami kembali.
Segala perkara datangnya dari Allah s.w.t atau Dia yang mengadakan ketentuan tanpa campurtangan siapa pun. Segala perkara kembali kepada-Nya karena Dialah yang mempastikan hukum ketentuan-Nya terlaksana tanpa seorang pun yang mampu menghalangi urusan-Nya.

Apabila sudah difahami bahwa usaha, ikhtiar, menyerah diri dan segala-galanya adalah takdir yang menurut ketentuan Allah s.w.t, maka seseorang itu tidak lagi merasa bingung saat mau berikhtiar atau menyerah diri. Ikhtiar dan berserah diri sama-sama berada di dalam pagar takdir. Jika seseorang menyadari maqamnya sama ada asbab atau tajrid maka dia hanya perlu bertindak sesuai dengan maqamnya. Ahli asbab perlu berusaha dengan gigih menurut keadaan hukum sebab-akibat. Apa saja hasil yang muncul dari usahanya diterimanya dengan senang hati kerana dia tahu hasil itu juga adalah takdir yang ditadbir oleh Allah s.w.t.
Jika hasilnya baik dia akan bersyukur karena dia tahu bahwa kebaikan itu datangnya dari Allah s.w.t. Jika tidak ada ketentuan baik untuknya niscaya tidak mungkin dia mendapat kebaikan. Jika hasil yang buruk pula sampai kepadanya dia akan bersabar karena dia tahu apa yang datang kepadanya itu adalah menurut ketentuan Allah bukan tunduk kepada usaha dan ikhtiarnya. Walaupun hasil yang tidak sesuai dengan seleranya  datang kepadanya tetapi usaha baik yang dilakukannya tetap diberi pahala dan keberkahan oleh Allah s.w.t sekiranya dia bersabar dan rela dengan apa juga takdir yang sampai kepadanya itu.

Ahli tajrid pula hendaklah rela dengan suasana kehidupannya dan tetap yakin dengan jaminan Allah s.w.t. Dia tidak harus merungut jika terjadi kekurangan pada rezekinya atau kesusahan menimpanya. Suasana kehidupannya adalah takdir yang sesuai dengan apa yang Allah s.w.t tentukan. Rezeki yang sampai kepadanya adalah juga ketentuan Allah s.w.t. Jika terjadi kekurangan atau kesusahan maka ia juga masih lagi di dalam pagar takdir yang ditentukan oleh Allah s.w.t. Begitu juga jika terjadi keberkahan dan kekeramatan pada dirinya dia harus melihat itu sebagai takdir yang menjadi bahagiannya.

Persoalan takdir berkait rapat dengan persoalan hakikat. Hakikat membawa pandangan dari yang banyak kepada yang satu. Perhatikan kepada sebiji benih kacang. Setelah ditanam benih yang kecil itu akan tumbuh dengan sempurna, mengeluarkan beberapa banyak buah kacang. Buah kacang tersebut dijadikan pula benih untuk menumbuhkan pokok-pokok kacang yang lain. Begitulah seterusnya sehingga kacang yang semula dari satu biji benih menjadi jutaan juta kacang. Kacang yang sejuta tidak ada bedanya dengan kacang yang pertama. Benih kacang yang pertama itu bukan saja mampu untuk menjadi sebatang pokok kacang, malah ia mampu mengeluarkan semua generasi kacang hingga hari kiamat. Ia hanya boleh mengeluarkan kacang, tidak benda lain.

Kajian akal boleh mengakui bahwa semua kacang mempunyai zat yang sama, yaitu zat kacang. Zat kacang pada benih pertama serupa dengan zat kacang pada yang ke satu juta malah ia adalah zat yang sama atau yang satu. Zat kacang yang satu itulah ‘bergerak’ pada semua kacang, mempastikan yang kacang akan menjadi kacang, tidak menjadi benda lain. Walaupun diakui kewujudan zat kacang yang mengawal pertumbuhan kacang, namun zat kacang itu tidak mungkin ditemui pada mana-mana kacang. Ia tidak serupa dan tidak mendiami mana-mana kacang, tetapi ia tidak berpisah dengan mana-mana kacang. Tanpanya tidak mungkin ada kewujudan kacang. Zat kacang ini dinamakan “Hakikat Kacang”. Ia adalah suasana ketuhanan yang mentadbir dan mengawal seluruh pertumbuhan kacang dari permulaan hingga kesudahan, sampai ke hari kiamat. Hakikat Kacang inilah suasana pentadbiran Allah s.w.t yang Dia telah tentukan untuk semua kejadian kacang. Apa saja yang dikuasai oleh Hakikat Kacang tidak ada pilihan kecuali menjadi kacang.

Suasana pentadbiran Allah s.w.t yang mentadbir dan mengawal kewujudan keturunan manusia pula dinamakan “Hakikat Manusia” atau “Hakikat Insan”. Allah s.w.t telah menciptakan manusia yang pertama, iaitu Adam a.s menurut Hakikat Insan yang ada pada sisi-Nya. Pada kejadian Adam a.s itu telah disimpan bakat dan upaya untuk melahirkan semua keturunan manusia hingga hari kiamat. Manusia akan tetap melahirkan manusia karena hakikat yang menguasainya adalah Hakikat Manusia.

 Pada Hakikat Manusia itu ada hakikat yang menguasai satu individu manusia dan yang berkaitan dengan segala kejadian alam yang lain. Seorang manusia yang berhakikatkan “Hakikat Nabi” pasti menjadi nabi. Seorang manusia yang berhakikatkan “Hakikat Wali” pasti akan menjadi wali. Suasana pentadbiran Allah s.w.t atau hakikat itu menguasai roh yang berkaitan dengannya. Roh bekerja mempamerkan segala sesuatu yang ada dengan hakikat yang menguasainya. Kerja roh adalah menjalankan urusan Allah s.w.t  yaitu menyatakan hakikat yang ada pada sisi Allah s.w.t.
 
Dan katakan: “ Roh itu dari perkara urusan Tuhanku”. ( Ayat 85 : Surah Al-Israa’ )

Pentadbiran Allah s.w.t menguasai roh dan menyeret roh kepada penampakan ketentuan-Nya yang berada pada azali. Allah s.w.t telah menentukan hakikat sesuatu sejak azali. Tidak ada perubahan pada ketentuan Allah s.w.t. Segala sesuatu dikawal oleh hakikat yang pada sisi Allah s.w.t. Unta tidak bisa meminta menjadi kambing. Hewan tidak bisa meminta menjadi manusia. Manusia tidak bisa meminta menjadi malaikat. Segala ketentuan telah diputuskan oleh Allah s.w.t.



Silahkan Baca Juga Artikel yang Terkait:

Comments :

0 komentar to “3. KETEGUHAN JIWA DIBALIK BENTENG TAKDIR”

Posting Komentar

LANGGANAN ARTIKEL

sufisme

Masukkan Email Anda dan Anda akan mendapatkan artikel terbaru dari sufisme news langsung di email Anda

 

Baner Links