Wasiat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam Kepada Abu Dzar Al-Ghifari
عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ قَالَ: أَوْصَانِيْ خَلِيْلِي بِسَبْعٍ : بِحُبِّ
الْمَسَاكِيْنِ وَأَنْ أَدْنُوَ مِنْهُمْ، وَأَنْ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ
أَسْفَلُ مِنِّي وَلاَ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ فَوقِيْ، وَأَنْ أَصِلَ
رَحِمِيْ وَإِنْ جَفَانِيْ، وَأَنْ أُكْثِرَ مِنْ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ
إِلاَّ بِاللهِ، وَأَنْ أَتَكَلَّمَ بِمُرِّ الْحَقِّ، وَلاَ تَأْخُذْنِيْ
فِي اللهِ لَوْمَةُ لاَئِمٍ، وَأَنْ لاَ أَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًا.
Dari Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu , ia berkata: “Kekasihku (Rasulullah)
Shallallahu 'alaihi wa sallam berwasiat kepadaku dengan tujuh hal: (1)
supaya aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, (2)
beliau memerintahkan aku agar aku melihat kepada orang yang berada di
bawahku dan tidak melihat kepada orang yang berada di atasku, (3) beliau
memerintahkan agar aku menyambung silaturahmiku meskipun mereka berlaku
kasar kepadaku, (4) aku dianjurkan agar memperbanyak ucapan lâ haulâ
walâ quwwata illâ billâh (tidak ada daya dan upaya kecuali dengan
pertolongan Allah), (5) aku diperintah untuk mengatakan kebenaran
meskipun pahit, (6) beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan orang
yang mencela dalam berdakwah kepada Allah, dan (7) beliau melarang aku
agar tidak meminta-minta sesuatu pun kepada manusia”.
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh imam-imam ahlul-hadits, di antaranya:
1. Imam Ahmad dalam Musnadnya (V/159).
2. Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (II/156, no. 1649), dan lafazh hadits ini miliknya.
3. Imam Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya (no. 2041-al-Mawârid).
4. Imam Abu Nu’aim dalam Hilyatu- Auliyâ` (I/214, no. 521).
5. Imam al-Baihaqi dalam as-Sunanul-Kubra (X/91).
Dishahîhkan oleh Syaikh al-‘Allamah al-Imam al-Muhaddits Muhammad
Nashiruddin al-Albâni rahimahullah dalam Silsilah al-Ahâdîts
ash-Shahîhah (no. 2166).
FIQIH HADITS (1) : MENCINTAI ORANG-ORANG MISKIN DAN DEKAT DENGAN MEREKA
Wasiat yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tujukan untuk Abu
Dzar ini, pada hakikatnya adalah wasiat untuk ummat Islam secara umum.
Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berwasiat kepada
Abu Dzar agar mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka. Kita
sebagai ummat Islam hendaknya menyadari bahwa nasihat beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam ini tertuju juga kepada kita semua.
Orang-orang miskin yang dimaksud, adalah mereka yang hidupnya tidak
berkecukupan, tidak punya kepandaian untuk mencukupi kebutuhannya, dan
mereka tidak mau meminta-minta kepada manusia. Pengertian ini sesuai
dengan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
لَيْسَ الْمِسْكِيْنُ بِهَذَا الطَّوَّافِ الَّذِي يَطُوْفُ عَلَى
النَّاسِ، فَتَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ وَالتَّمْرَةُ
وَالتَّمْرَتَانِ. قَالُوْا : فَمَا الْمِسْكِيْنُ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟
قَالَ: الَّذِيْ لاَ يَجِدُ غِنًى يُغْنِيْهِ وَلاَ يُفْطَنُ لَهُ
فَيُتَصَدَّقَ عَلَيْهِ، وَلاَ يَسْأَلُ النَّاسَ شَيْئًا.
"Orang miskin itu bukanlah mereka yang berkeliling meminta-minta kepada
orang lain agar diberikan sesuap dan dua suap makanan dan satu-dua butir
kurma.” Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, (kalau begitu) siapa
yang dimaksud orang miskin itu?” Beliau menjawab,"Mereka ialah orang
yang hidupnya tidak berkecukupan, dan dia tidak mempunyai kepandaian
untuk itu, lalu dia diberi shadaqah (zakat), dan mereka tidak mau
meminta-minta sesuatu pun kepada orang lain.”[1]
Islam menganjurkan umatnya berlaku tawadhu` terhadap orang-orang miskin,
duduk bersama mereka, menolong mereka, serta bersabar bersama mereka.
Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkumpul bersama
orang-orang miskin, datanglah beberapa pemuka Quraisy hendak berbicara
dengan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, tetapi mereka enggan duduk
bersama dengan orang-orang miskin itu, lalu mereka menyuruh beliau agar
mengusir orang-orang fakir dan miskin yang berada bersama beliau. Maka
masuklah dalam hati beliau keinginan untuk mengusir mereka, dan ini
terjadi dengan kehendak Allah Ta’ala. Lalu turunlah ayat:
"Janganlah engkau mengusir orang yang menyeru Rabb-nya di pagi dan
petang hari, mereka mengharapkan wajah-Nya". [al-An’âm/6:52].[2]
Mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, yaitu dengan
membantu dan menolong mereka, bukan sekedar dekat dengan mereka. Apa
yang ada pada kita, kita berikan kepada mereka karena kita akan
diberikan kemudahan oleh Allah Ta’ala dalam setiap urusan, dihilangkan
kesusahan pada hari Kiamat, dan memperoleh ganjaran yang besar.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ
عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى
مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ...
"Barangsiapa menghilangkan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin,
Allah akan menghilangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Dan
barangsiapa yang memudahkan kesulitan orang yang dililit hutang, Allah
akan memudahkan atasnya di dunia dan akhirat… " [3]
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
السَّاعِى عَلَى اْلأَرْمَلَةِ وَالْمِسْكِيْنِ كَالْمُجَاهِدِ فِيْ
سَبِيْلِ اللهِ –وَأَحْسِبُهُ قَالَ-: وَكَالْقَائِمِ لاَ يَفْتُرُ
وَكَالصَّائِمِ لاَ يُفْطِرُ.
"Orang yang membiayai kehidupan para janda dan orang-orang miskin
bagaikan orang yang berjihad fii sabiilillaah.” –Saya (perawi) kira
beliau bersabda-, “Dan bagaikan orang yang shalat tanpa merasa bosan
serta bagaikan orang yang berpuasa terus-menerus”.[4]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam selalu berkumpul bersama
orang-orang miskin, sampai-sampai beliau berdo’a kepada Allah agar
dihidupkan dengan tawadhu’, akan tetapi beliau mengucapkannya dengan
kata "miskin".
اَللَّهُمَّ أَحْيِنِيْ مِسْكِيْنًا وَأَمِتْنِيْ مِسْكِيْنًا وَاحْشُرْنِيْ فِيْ زُمْرَةِ الْمَسَاكِيْنِ.
"Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah aku dalam
keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku bersama rombongan orang-orang
miskin".[5]
Ini adalah doa dari beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam agar Allah
Ta’ala memberikan sifat tawadhu` dan rendah hati, serta agar tidak
termasuk orang-orang yang sombong lagi zhalim maupun orang-orang kaya
yang melampaui batas. Makna hadits ini bukanlah meminta agar beliau
menjadi orang miskin, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Atsir
rahimahullah, bahwa kata "miskin" dalam hadits di atas adalah tawadhu
[6]. Sebab, di dalam hadits yang lain Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam berlindung dari kefakiran.[7]
Beliau berdoa seperti ini, karena beliau mengetahui bahwa orang-orang
miskin akan memasuki surga lebih dahulu daripada orang-orang kaya.
Tenggang waktu antara masuknya orang-orang miskin ke dalam surga sebelum
orang kaya dari kalangan kaum Muslimin adalah setengah hari, yaitu lima
ratus tahun.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَدْخُلُ فُقَرَاءُ الْمُسْلِمِيْنَ الْجَنَّةَ قَبْلَ أَغْنِيَائِهِمْ بِنِصْفِ يَوْمٍ وَهُوَ خَمْسُ مِائَةِ عَامٍ.
"Orang-orang faqir kaum Muslimin akan memasuki surga sebelum orang-orang
kaya (dari kalangan kaum Muslimin) selama setengah hari, yaitu lima
ratus tahun". [8]
Orang–orang miskin yang masuk surga ini, adalah mereka yang taat kepada
Allah, mentauhidkan-Nya dan menjauhi perbuatan syirik, menjalankan
Sunnah dan menjauhi perbuatan bid’ah, menjalankan perintah-perintah
Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.
Sebab terlambatnya orang-orang kaya memasuki surga selama lima ratus
tahun, adalah karena semua harta mereka akan dihitung dan
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Ta’ala.
Dalam hadits yang lain Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdo’a
agar mencintai orang-orang miskin. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ، وَتَرْكَ
الْمُنْكَرَاتِ، وَحُبَّ الْمَسَاكِيْنِ، وَأَنْ تَغْفِرَ لِيْ
وَتَرْحَمَنِيْ، وَإِذََا أَرَدْتَ فِتْنَةَ قَوْمٍ فَتَوَفَّنِيْ غََيْرَ
مَفْتُوْنٍ، وَأَسْأَلُكَ حُبَّكَ، وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ، وَحُبَّ عَمَلٍ
يُقَرِّبُنِيْ إِلَى حُبِّكَ.
"Ya Allah, aku memohon kepada-Mu agar aku dapat melakukan
perbuatan-perbuatan baik, meninggalkan perbuatan munkar, mencintai orang
miskin, dan agar Engkau mengampuni dan menyayangiku. Jika Engkau hendak
menimpakan suatu fitnah (malapetaka) pada suatu kaum, maka wafatkanlah
aku dalam keadaan tidak terkena fitnah itu. Dan aku memohon kepada-Mu
rasa cinta kepada-Mu, rasa cinta kepada orang-orang yang mencintaimu,
dan rasa cinta kepada segala perbuatan yang mendekatkanku untuk
mencintai-Mu". [9]
Selain itu, dengan menolong orang-orang miskin dan lemah, kita akan
memperoleh rezeki dan pertolongan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
هَلْ تُنْصَرُوْنَ وَتُرْزَقُوْنَ إِلاَّ بِضُعَفَائِكُمْ.
"Kalian hanyalah mendapat pertolongan dan rezeki dengan sebab adanya orang-orang lemah dari kalangan kalian".[10]
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
إِنَّمَا يَنْصُرُ اللهُ هَذَهِ اْلأُمَّةَ بِضَعِيْفِهَا: بِدَعْوَتِهِمْ، وَصَلاَتِهِمْ، وَإِخْلاَصِهِمْ.
"Sesungguhnya Allah menolong ummat ini dengan sebab orang-orang lemah
mereka di antara mereka, yaitu dengan doa, shalat, dan keikhlasan
mereka".[11]
________
Footnotes
[1]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1039 (101)), Abu Dawud
(no. 1631), dan an-Nasâ`i (V/85). Dari Sahabat Abu Hurairah
Radhiyallahu 'anhu.
[2]. Lihat Shahîh Muslim (no. 2413), Sunan Ibni Majah (no. 4128), dan Tafsîr Ibni Katsir (III/90).
[3]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2699), Ahmad (II/252,
325), Abu Dawud (no. 3643), at-Tirmidzi (no. 2646), Ibnu Majah (no.
225), dan Ibnu Hibban (no. 78 dalam al-Mawârid). Dari Sahabat Abu
Hurairah Radhiyallahu 'anhu
[4]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5353, 6006, 6007)
dan Muslim (no. 2982), dari Sahabat Abu Hurairah. Lafazh ini milik
Muslim.
[5]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 4126), ‘Abd bin
Humaid dalam al-Muntakhab (no. 1000), dan selain keduanya. Lihat
Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 308) dan Irwâ`ul Ghalîl (no. 861).
[6]. Lihat an-Nihâyah fî Gharîbil-Hadîts (II/385) oleh Imam Ibnul-Atsir rahimahullah .
[7]. HR an-Nasâ`i (VIII/265, 268) dan al-Hakim (I/531).
[8]. Hadits hasan shahîh. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2353, 2354)
dan Ibnu Majah (no. 4122), dari Abu Hurairah rahimahullah. Lihat Shahîh
Sunan at-Tirmidzi (II/276, no. 1919).
[9]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Ahmad (V/243), lafazh ini
miliknya, at-Tirmidzi (no. 3235), dan al-Hakim (I/521), dan dihasankan
oleh at-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata,"Aku pernah bertanya kepada
Muhammad bin Isma’il –yakni Imam al-Bukhari- maka ia menjawab, ‘Hadits
ini hasan shahîh’.” Dari Sahabat Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu 'anhu. Di
akhir hadits, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّهَا حَقٌّ، فَادْرُسُوْهَا وَتَعَلَّمُوْهَا.
Sesungguhnya ia (doa tersebut) merupakan hal yang benar, maka pelajari (hafalkan), dan perdalamlah.
[10]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 2896) dari Sahabat Mush’ab bin Sa’d Radhiyallahu 'anhu.
[11]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh an-Nasâ`i (VI/45) dari Sahabat
Mush’ab bin Sa’d Radhiyallahu 'anhu. Lihat Shahîh Sunan an-Nasâ`i
(II/669, no. 2978).
FIQIH HADITS (2) : MELIHAT KEPADA ORANG YANG LEBIH RENDAH KEDUDUKANNYA DALAM HAL MATERI DAN PENGHIDUPAN
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kita agar melihat
orang yang berada di bawah kita dalam masalah kehidupan dunia dan mata
pencaharian. Tujuan dari hal itu, agar kita tetap mensyukuri nikmat yang
telah Allah berikan kepada kita. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
salam bersabda:
اُنْظُرُوْا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوْا إِلَى
مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوْا نِعْمَةَ
اللهِ عَلَيْكُمْ.
"Lihatlah kepada orang yang berada di bawahmu dan jangan melihat orang
yang berada di atasmu, karena yang demikian lebih patut, agar kalian
tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepadamu" [1].
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang seorang Muslim melihat
kepada orang yang di atas. Maksudnya, jangan melihat kepada orang kaya,
banyak harta, kedudukan, jabatan, gaji yang tinggi, kendaraan yang
mewah, rumah mewah, dan lainnya. Dalam kehidupan dunia terkadang kita
melihat kepada orang-orang yang berada di atas kita. Hal ini merupakan
kesalahan yang fatal. Dalam masalah tempat tinggal, misalnya, terkadang
seseorang hidup bersama keluarganya dengan "mengontrak rumah", maka
dengan keadaannya ini hendaklah ia bersyukur karena masih ada
orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal dan tidur beratapkan
langit. Begitu pun dalam masalah penghasilan, terkadang seseorang hanya
mendapat nafkah yang hanya cukup untuk makan hari yang sedang
dijalaninya saja, maka dalam keadaan ini pun ia harus tetap bersyukur
karena masih ada orang-orang yang tidak memiliki penghasilan dan ada
orang yang hanya hidup dari menggantungkan harapannya kepada orang lain.
Sedangkan dalam masalah agama, ketaatan, pendekatan diri kepada Allah,
meraih pahala dan surga, maka sudah seharusnya kita melihat kepada orang
yang berada di atas kita, yaitu para nabi, orang-orang yang jujur, para
syuhada, dan orang-orang yang shalih. Apabila para salafush-shalih
sangat bersemangat dalam melakukan shalat, puasa, shadaqah, membaca
Al-Qur`ân, dan perbuatan baik lainnya, maka kita pun harus berusaha
melakukannya seperti mereka. Dan inilah yang dinamakan berlomba-lomba
dalam kebaikan.
Dalam masalah berlomba-lomba meraih kebaikan ini, Allah Tabarâka wa Ta’ala berfirman:
"Dan untuk yang demikian itu, hendaknya orang berlomba-lomba". [al-Muthaffifîn/83:26].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kita melihat
kepada orang yang berada di bawah kita dalam masalah dunia, agar kita
menjadi orang-orang yang bersyukur dan qana’ah. Yaitu merasa cukup
dengan apa yang Allah telah karuniakan kepada kita, tidak hasad dan
tidak iri kepada manusia.
Apabila seorang muslim hanya mendapatkan makanan untuk hari yang sedang
ia jalani sebagai kenikmatan yang paling besar baginya. Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyinggung hal ini dalam sabdanya:
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِيْ سِرْبِهِ، مُعَافًى فِيْ جَسَدِهِ،
وَعِنْدَهُ قُوْتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيْزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
بِحَذَافِيْرِهَا.
"Siapa saja di antara kalian yang merasa aman di tempat tinggalnya,
diberikan kesehatan pada badannya, dan ia memiliki makanan untuk harinya
itu, maka seolah-olah ia telah memiliki dunia seluruhnya".[2]
Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu adalah teladan kita dalam hal ini. Beliau
mencari makan untuk hari yang sedang dijalaninya, sedangkan untuk esok
harinya beliau mencarinya lagi. Beliau melakukan yang demikian itu
terus-menerus dalam kehidupannya. Mudah-mudahan Allah meridhai beliau.
_______
Footnote
[1]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6490), Muslim (no.
2963), at-Tirmidzi (no. 2513), dan Ibnu Majah (no. 4142), dari Sahabat
Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
[2]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2346), Ibnu Majah
(no. 4141), dan al-Bukhari dalam al-Adabul-Mufrad (no. 300), dan
selainnya. Dari ‘Ubaidullah bin Mihshan Radhiyallahu 'anhu. Lihat
Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 2318).
FIQIH HADITS (3) : MENYAMBUNG SILATURAHMI MESKIPUN KARIB KERABAT BERLAKU KASAR
Imam Ibnu Manzhur rahimahullah berkata tentang silaturahmi: “Al-Imam
Ibnul-Atsir rahimahullah berkata, ‘Silaturahmi adalah ungkapan mengenai
perbuatan baik kepada karib kerabat karena hubungan senasab atau karena
perkawinan, berlemah lembut kepada mereka, menyayangi mereka,
memperhatikan keadaan mereka, meskipun mereka jauh dan berbuat jahat.
Sedangkan memutus silaturahmi, adalah lawan dari hal itu semua’.” [1]
Dari pengertian di atas, maka silaturahmi hanya ditujukan pada
orang-orang yang memiliki hubungan kerabat dengan kita, seperti kedua
orang tua, kakak, adik, paman, bibi, keponakan, sepupu, dan lainnya yang
memiliki hubungan kerabat dengan kita.
Sebagian besar kaum Muslimin salah dalam menggunakan kata silaturahmi.
Mereka menggunakannya untuk hubungan mereka dengan rekan-rekan dan
kawan-kawan mereka. Padahal silaturahmi hanyalah terbatas pada
orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan kita. Adapun
kepada orang yang bukan kerabat, maka yang ada hanyalah ukhuwwah
Islamiyyah (persaudaraan Islam).
Silaturahmi yang hakiki bukanlah menyambung hubungan baik dengan orang
yang telah berbuat baik kepada kita, namun silaturahmi yang hakiki
adalah menyambung hubungan kekerabatan yang telah retak dan putus, dan
berbuat baik kepada kerabat yang berbuat jahat kepada kita. Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنِ الْوَاصِلُ الَّذِيْ إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا.
"Orang yang menyambung kekerabatan bukanlah orang yang membalas
kebaikan, tetapi orang yang menyambungnya adalah orang yang menyambung
kekerabatannya apabila diputus".[2]
Imam al-‘Allamah ar-Raghib al-Asfahani rahimahullah menyatakan bahwa
rahim berasal dari kata rahmah yang berarti lembut, yang memberi
konsekuensi berbuat baik kepada orang yang disayangi. [3]
Ar-Rahim, adalah salah satu nama Allah. Rahim (kekerabatan), Allah
letakkan di ‘Arsy. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
الرَّحِمُ مَعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ، تَقُوْلُ: مَنْ وَصَلَنِيْ وَصَلَهُ اللهُ، وَمَنْ قَطَعَنِيْ قَطَعَهُ اللهُ.
"Rahim (kekerabatan) itu tergantung di ‘Arsy. Dia berkata,"Siapa yang
menyambungku, Allah akan menyambungnya. Dan siapa yang memutuskanku,
Allah akan memutuskannya".[4]
Menyambung silaturahmi dan berbuat baik kepada orang tua adalah wajib
berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur`ân dan as-Sunnah. Sebaliknya,
memutus silaturahmi dan durhaka kepada orang tua adalah haram dan
termasuk dosa besar.
Allah Ta’ala berfirman:
" …Dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk disambungkan…" [al-Baqarah/2:27]
Dalam menafsirkan ayat di atas, al-Imam Ibnu Jarir ath-Thabari
rahimahullah berkata: “Pada ayat di atas, Allah menganjurkan hamba-Nya
agar menyambung hubungan kerabat dan orang yang memiliki hubungan rahim,
serta tidak memutuskannya”.[5]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengaitkan antara menyambung
silaturahmi dengan keimanan terhadap Allah dan hari Akhir. Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ.
"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia menyambung silaturahmi" [6].
Dengan bersilaturahmi, Allah akan melapangkan rezeki dan memanjangkan
umur kita. Sebaliknya, orang yang memutuskan silaturahmi, Allah akan
sempitkan rezekinya atau tidak diberikan keberkahan pada hartanya.
Adapun haramnya memutuskan silaturahmi telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ.
"Tidak masuk surga orang yang memutuskan silaturahmi". [7]
Bersilaturahmi dapat dilakukan dengan cara mengunjungi karib kerabat,
menanyakan kabarnya, memberikan hadiah, bersedekah kepada mereka yang
miskin, menghormati mereka yang berusia lebih tua dan menyayangi yang
lebih muda dan lemah, serta menanyakan terus keadaan mereka, baik dengan
cara datang langsung, melalui surat, maupun dengan menghubunginya lewat
telepon ataupun short massage service (sms). Bisa juga dilakukan dengan
meminta mereka untuk bertamu, menyambut kedatangannya dengan suka cita,
memuliakannya, ikut senang bila mereka senang dan ikut sedih bila
mereka sedih, mendoakan mereka dengan kebaikan, tidak hasad (dengki)
terhadapnya, mendamaikannya bila berselisih, dan bersemangat untuk
mengokohkan hubungan di antara mereka. Bisa juga dengan menjenguknya
bila sakit, memenuhi undangannya, dan yang paling mulia ialah
bersemangat untuk berdakwah dan mengajaknya kepada hidayah, tauhid, dan
Sunnah, serta menyuruh mereka melakukan kebaikan dan melarang mereka
melakukan dosa dan maksiat.
Hubungan baik ini harus terus berlangsung dan dijaga kepada karib
kerabat yang baik dan istiqamah di atas Sunnah. Adapun terhadap karib
kerabat yang kafir atau fasik atau pelaku bid’ah, maka menyambung
kekerabatan dengan mereka dapat melalui nasihat dan memberikan
peringatan, serta berusaha dengan sungguh-sungguh dalam melakukannya.[8]
Silaturahmi yang paling utama adalah silaturahmi kepada kedua orang tua.
Orang tua adalah kerabat yang paling dekat, yang memiliki jasa yang
sangat besar, mereka memberikan kasih dan sayangnya sepanjang hidup
mereka. Maka tidak aneh jika hak-hak mereka memiliki tingkat yang besar
setelah beribadah kepada Allah. Di dalam Al-Qur`ân terdapat banyak ayat
yang memerintahkan kita agar berbakti kepada kedua orang tua.
Birrul-walidain adalah berbuat baik kepada kedua orang tua, baik berupa
bantuan materi, doa, kunjungan, perhatian, kasih sayang, dan menjaga
nama baik pada saat keduanya masih hidup maupun setelah keduanya
meninggal dunia. Birrul-walidain adalah perbuatan baik yang paling baik.
Diriwayatkan dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu, ia
berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ؟ قَالَ : اَلصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ:
قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ: قُلْتُ: ثُمَّ
أَيٌّ ؟ قَالَ : الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ.
“Amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab,"Shalat pada waktunya
(dalam riwayat lain disebutkan shalat di awal waktunya).” Aku
bertanya,"Kemudian apa?” Beliau menjawab,"Berbakti kepada kedua orang
tua.” Aku bertanya,"Kemudian apa?” Beliau menjawab,"Jihad di jalan
Allah.” [9]
Selain itu, Allah Ta’ala dan Rasul-Nya melarang kita berbuat durhaka
kepada kedua orang tua. Sebab, durhaka kepada kedua orang tua adalah
dosa besar yang paling besar.
Silaturahmi memiliki sekian banyak manfaat yang sangat besar, diantaranya sebagai berikut.
1. Dengan bersilaturahmi, berarti kita telah menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya.
2. Dengan bersilaturahmi akan menumbuhkan sikap saling tolong-menolong dan mengetahui keadaan karib kerabat.
3. Dengan bersilaturahmi, Allah akan meluaskan rezeki dan memanjangkan
umur kita. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda bersabda:
مَنْ أَ حَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ، وَيُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ .
"Barangsiapa yang suka diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi" [10].
4. Dengan bersilaturahmi, kita dapat menyampaikan dakwah, menyampaikan
ilmu, menyuruh berbuat baik, dan mencegah berbagai kemungkaran yang
mungkin akan terus berlangsung apabila kita tidak mencegahnya.
5. Silaturahmi sebagai sebab seseorang masuk surga.
Diriwayatkan dari Abu Ayyub al-Anshari Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya
ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku suatu
amal yang dapat memasukkanku ke dalam surga dan menjauhkanku dari
neraka,” maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
تَعْبُدُ اللهَ وَلاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا، وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصِلُ الرَّحِمَ.
"Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu
pun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menyambung silaturahmi"
[11].
_______
Footnote
[1]. Lisânul-‘Arab (XV/318).
[2]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5991), Abu Dawud
(no. 1697), dan at-Tirmidzi (no. 1908), dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr
Radhiyallahu 'anhu
[3]. Lihat Mufrâdât al-Fâzhil-Qur`ân, halaman 347.
[4]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5989) dan Muslim
(no. 2555), dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha. Lafazh ini milik Muslim.
[5]. Tafsîr ath-Thabari (I/221).
[6]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6138), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
[7]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5984) dan Muslim
(no. 2556), dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu.
[8]. Lihat Qathî`atur-Rahim: al-Mazhâhir al-Asbâb Subulul-‘Ilaj, oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, halaman 21-22.
[9]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 527), Muslim (no.
85), an-Nasâ`i (I/292-293), at-Tirmidzi (no. 173), dan Ahmad
(I/409-410,439, 451).
[10]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Bukhari (no. 5986) dan Muslim (no. 2557 (21)).
[11]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1396) dan Muslim (no. 13).
FIQIH HADITS (4) : MEMPERBANYAK UCAPAN LA HAULA WALA QUWWATA ILLA BILLAH
(TIDAK ADA DAYA DAN UPAYA KECUALI DENGAN PERTOLONGAN ALLAH)
Mengapa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan kalimat lâ haulâ wa lâ quwwata illâ billâh?
Jawabannya, agar kita melepaskan diri kita dari segala apa yang kita
merasa mampu untuk melakukannya, dan kita serahkan semua urusan kepada
Allah. Sesungguhnya yang dapat menolong dalam semua aktivitas kita
hanyalah Allah Ta’ala, dan ini adalah makna ucapan kita setiap kali
melakukan shalat,
"Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan". [al-Fâtihah/1:5].
Dan kalimat ini, adalah makna dari doa yang sering kita ucapkan dalam akhir shalat kita:
اَللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ.
"Ya Allah, tolonglah aku agar dapat berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu" [1].
Pada hakikatnya seorang hamba tidak memiliki daya dan upaya kecuali
dengan pertolongan Allah. Seorang penuntut ilmu tidak akan mungkin duduk
di majlis ilmu, melainkan dengan pertolongan Allah. Seorang guru tidak
akan mungkin dapat mengajarkan ilmu yang bermanfaat, melainkan dengan
pertolongan Allah. Begitupun seorang pegawai, tidak mungkin dapat
bekerja melainkan dengan pertolongan Allah.
Seorang hamba tidak boleh sombong dan merasa bahwa dirinya mampu untuk
melakukan segala sesuatu. Seorang hamba seharusnya menyadari bahwa
segala apa yang dilakukannya semata-mata karena pertolongan Allah.
Sebab, jika Allah tidak menolong maka tidak mungkin dia melakukan segala
sesuatu. Artinya, dengan mengucapkan kalimat ini, seorang hamba berarti
telah menunjukkan kelemahan, ketidakmampuan dirinya, dan menunjukkan
bahwa ia adalah orang yang sangat membutuhkan pertolongan Allah.
FIQIH HADITS (5) : BERANI MENGATAKAN KEBENARAN MESKIPUN PAHIT
Pahitnya kebenaran, tidak boleh mencegah kita untuk mengucapkannya, baik
kepada orang lain maupun kepada diri sendiri. Apabila sesuatu itu jelas
sebagai sesuatu yang haram, syirik, bid’ah dan munkar, jangan sampai
kita mengatakan sesuatu yang haram adalah halal, yang syirik dikatakan
tauhid, perbuatan bid’ah adalah Sunnah, dan yang munkar dikatakan
ma’ruf.
Menyembah kubur, misalnya, yang sudah jelas perbuatan syirik namun
banyak para dai yang beralasan bahwa hal tersebut, adalah permasalahan
yang masih diperselisihkan. Seorang dai harus tegas mengatakan
kebenaran, perbuatan yang bid’ah harus dikatakan bid’ah, dan perbuatan
yang haram harus dikatakan haram, dengan membawakan dalil dan penjelasan
para ulama tentang keharamannya.
Sesungguhnya jihad yang paling utama ialah mengatakan kalimat yang haq (kebenaran) kepada penguasa.
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ.
"Jihad yang paling utama ialah mengatakan kalimat yang haq (kebenaran) kepada penguasa yang zhalim". [2]
Yaitu dengan mendatangi mereka dan menasihati mereka dengan cara yang
baik. Jika tidak bisa, dapat dilakukan dengan menulis surat atau melalui
orang yang menjadi wakil mereka, tidak dengan mengadakan orasi,
provokasi, demonstrasi. Dan tidak boleh menyebarkan aib mereka melalui
mimbar, mimbar Jum’at, dan yang lainnya.
Islam telah memberikan ketentuan dalam menasihati para pemimpin (ulil amri). Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاَنِيَةً
وَلَكِنْ يَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ
وَ إِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ.
"Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkan
dengan terang-terangan. Hendaklah ia pegang tangannya lalu menyendiri
dengannya. Kalau penguasa itu mau mendengar nasihat itu, maka itu yang
terbaik. Dan bila si penguasa itu enggan (tidak mau menerima), maka
sungguh ia telah melaksanakan kewajiban amanah yang dibebankan
kepadanya"[3].
_______
Footnote
[1]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 1522), an-Nasâ`i
(III/53), Ahmad (V/245), dan al-Hakim (I/173, III/273) beliau
menshahîhkannya, dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[2]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ahmad (V/251, 656), Ibnu Majah
(no. 4012), ath-Thabrani dalam al-Kabîr (VIII/282, no. 8081), dan
al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (no. 2473), dan selainnya. Dari Sahabat
Abu Umamah Radhiyallahu 'anhu. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah
(no. 490).
[3]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah,
Bab: Kaifa Nashihatur-Ra’iyyah lil- Wulât (II/ 507-508 no. 1096, 1097,
1098), Ahmad (III/403-404) dan al-Hakim (III/290) dari ‘Iyadh bin Ghunm
Radhiyallahu 'anhu.
FIQIH HADITS (6) : TIDAK TAKUT CELAAN PARA PENCELA DALAM BERDAKWAH DI JALAN ALLAH
Dalam berdakwah di jalan Allah Ta’ala, banyak orang yang menolak,
mencela, dan lainnya. Hati yang sakit pada umumnya menolak kebenaran
yang disampaikan. Ketika kebenaran itu kita sampaikan dan mereka
mencela, maka kita diperintahkan untuk terus menyampaikan dakwah yang
haq dengan ilmu, lemah lembut, dan sabar.
Di antara akhlak yang mulia, adalah berani dalam menyampaikan kebenaran,
dan ini merupakan akhlak Salafush-Shalih. Islam mencela sifat penakut.
Hal ini dapat tercermin dari perintah untuk maju ke medan perang dan
tidak boleh mundur pada saat telah berhadapan dengan musuh. Disamping
itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berlindung kepada Allah
dari sifat pengecut. Beliau berdoa dalam haditsnya:
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ
أَنْ أُرَدَّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ
الدُّنْيَا، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ.
"Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut,
aku berlindung kepada-Mu dari sifat kikir, aku berlindung kepada-Mu dari
dikembalikan kepada umur yang paling hina (pikun), aku berlindung
kepada-Mu dari fitnah dunia, dan aku berlindung kepada-Mu dari adzab
kubur".[1]
Dakwah yang diberkahi Allah ini (dakwah kepada tauhid dan Sunnah) harus
diperjuangkan oleh para dai, supaya tegak dan berkembang. Para dai yang
menyeru kepadanya tidak boleh merasa takut. Kepada para dai yang menyeru
kepada dakwah yang haq ini, jangan merasa takut apabila mendapat
celaan, cobaan, penolakan, dan pertentangan. Jangan sekali-kali mundur
dalam menegakkan kebenaran dan tidak mau lagi berdakwah. Dakwah mengajak
manusia kepada tauhid dan Sunnah harus terus berjalan meskipun orang
mencela, mencomooh, dan menolaknya.
Seorang dai tidak boleh mundur dalam berdakwah di jalan Allah dan tidak
boleh takut, karena Allah yang akan menolong orang-orang yang berada di
atas manhaj yang haq.
Dalam Al-Qur`ân, Allah Ta’ala menyebutkan tentang orang-orang yang
menyampaikan risalah Allah, sedangkan mereka tidak takut. Allah Ta’ala
berfirman:
"(Yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka
takut kepada-Nya dan tidak merasa takut kepada siapa pun selain kepada
Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan".
[al-Ahzaab/33:39].
Dan di antara ciri hamba yang dicintai Allah, adalah mereka tidak takut celaan para pencela. Allah Ta’ala berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman! Barangsiapa di antara kamu yang murtad
(keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum,
Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah
lembut terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap
orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut
kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang
diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas
(pemberian-Nya), Mahamengetahui.” [al-Mâidah/5:54].
FIQIH HADITS (7) : TIDAK MEMINTA-MINTA SESUATU KEPADA ORANG LAIN
Orang yang dicintai Allah, Rasul-Nya, dan manusia, adalah orang yang
tidak meminta-minta kepada orang lain dan zuhud terhadap apa yang
dimiliki orang lain. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh
umatnya agar tidak meminta-minta kepada manusia, karena meminta-minta
hukum asalnya adalah haram. Seorang Muslim harus berusaha makan dengan
hasil keringatnya sendiri, dengan usaha kita sendiri, dan bukan dari
usaha dan belas kasihan orang lain. Seorang Muslim harus berusaha
sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, karena Allah yang akan
menolongnya.
Masyarakat yang masih awam (minim dalam ilmu agama), mereka berusaha
untuk menghidupi keluarga mereka dengan berjualan, baik di
pinggir-pinggir jalan maupun di kendaraan umum, seperti bus dan kereta
api. Yang demikian itu lebih mulia daripada dia meminta-minta kepada
manusia. Seharusnya hal ini menjadi cambuk bagi para penuntut ilmu, agar
mereka pun berusaha memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan keringat
mereka sendiri, dan tidak bergantung kepada orang lain.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
َلأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ فَيَأْتِيَ بِخُزْمَةِ حَطَبٍ عَلَى
ظَهْرِهِ فَيَبِيْعَهَا فَيَكُفَّ اللهُ بِهَا وَجْهَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ
أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ، أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوْهُ.
"Sungguh, seseorang dari kalian mengambil talinya lalu membawa seikat
kayu bakar di atas punggungnya, kemudian ia menjualnya, sehingga
dengannya Allah menjaga kehormatannya. Itu lebih baik baginya daripada
ia meminta-minta kepada manusia. Mereka memberinya atau tidak
memberinya".[2]
Meminta-minta merupakan perbuatan yang sangat tercela, dan hukum asalnya
adalah haram, kecuali untuk maslahat kaum Muslimin karena termasuk
tolong-menolong dalam kebaikan, seperti untuk pembangunan masjid, pondok
pesantren, biaya hidup anak yatim, dan yang sepertinya. Ini pun harus
dengan cara yang baik, yaitu dengan mendatangi orang-orang yang kaya dan
mampu atau diumumkan di masjid, bukan dengan cara meminta-minta di
pinggir jalan. Sebab, perbuatan tersebut tidak ada contohnya dari
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, serta
merusak nama baik Islam dan kaum Muslimin. Adapun meminta-minta untuk
kepentingan pribadi, maka hukumnya haram dalam Islam.
Diriwayatkan dari Sahabat Qabishah bin Mukhariq al-Hilali Radhiyallahu 'anhu , ia berkata: Rasulullah bersabda:
يَا قَبِيْصَةُ، إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لاَ تَحِلُّ إِلاَّ ِلأَحَدِ
ثَلاَثَةٍ: رَجُلٌ تَحَمَّلَ حَمَلَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى
يُصِيْبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ. وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ
مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ
عَيْشٍ (أَوْ قَالَ:سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ). وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ
حَتَّى يَقُوْمَ ثَلاَثَةٌ مِنْ ذَوِى الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ: لَقَدْ
أَصَابَتْ فُلاَنًا فَاقَةٌ. فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ
قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ (أَوْ قَالَ:سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ) فَمَا سِوَاهُنَّ
مَنَ الْمَسْأَلَةِ، يَا قَبِيْصَةُ، سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا
سُحْتًا.
"Wahai, Qabishah! Sesungguhnya meminta-minta tidak dihalalkan kecuali
bagi salah seorang dari tiga macam: (1) seseorang yang menanggung hutang
orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian ia
berhenti (tidak meminta-minta lagi), (2) seseorang yang ditimpa musibah
yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan
sandaran hidup, dan (3) orang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga
ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan "Si Fulan telah
ditimpa kesengsaraan," ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan
sandaran hidup. Meminta-minta selain tiga hal itu, wahai Qabishah,
adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram".[3]
Bahkan orang yang selalu meminta-minta, kelak pada hari Kiamat tidak ada
daging sedikit pun pada wajahnya, sebagaimana ia tidak malu untuk
meminta-minta kepada manusia di dunia. Beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ، حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَيْسَ فِيْ وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ.
"Seseorang senantiasa minta-minta kepada orang lain hingga ia akan
datang pada hari Kiamat dengan tidak ada sekerat daging pun di
wajahnya".[4]
Maksudnya bahwa pada hari Kiamat ia akan dikumpulkan di hadapan Allah
dalam keadaan wajahnya hanya tulang (tengkorak) saja, tidak ada daging
padanya. Hal itu sebagai hukuman baginya, dan sebagai tanda dosa baginya
ketika di dunia ia selalu minta-minta dengan wajahnya tanpa malu.[5]
PENUTUP
Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat untuk penulis dan para pembaca, dan
wasiat Rasulullah ini dapat kita laksanakan dengan ikhlas karena Allah
Ta’ala. Mudah-mudahan shalawat dan salam tetap tercurah kepada Nabi
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, juga kepada kelurga dan para
sahabat beliau.
Akhir seruan kami, segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Ramadhan (06-07)/Tahun
XI/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 2822, 6365, 6370, 6390) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
[2]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1471, 2075), dari Sahabat az-Zubair bin al-‘Awwam Radhiyallahu 'anhu
[3]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1044), Abu Dawud (no. 1640), Ibnu Khuzaimah (no. 2361), dan selain mereka.
[4]. Hadits shahîh: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1474) dan Muslim
(no. 1040), dari Sahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma. Lafazh ini
milik Muslim.
[5]. Lihat Syarah Shahîh Muslim (VII/130) oleh Imam an-Nawawi rahimahullah.
Marâji’:
1. Al-Qur`ânul-Karim dan terjemahannya, terbitan Departemen Agama.
2. al-Adabul-Mufrad.
3. Al-Mu’jamul-Kabîr.
4. An-Nihâyah fî Gharîbil-Hadîts.
5. As-Sunanul-Kubra.
6. As-Sunnah libni Abi ‘Ashim.
7. Al-Washâya al-Mimbariyyah, karya ‘Abdul-‘Azhim bin Badawi al-Khalafi.
8. Hilyatul Auliyâ`.
9. Irwâ`ul Ghalîl fî Takhriji Ahâdîtsi Manâris Sabîl.
10. Lisânul-‘Arab.
11. Mawâridizh Zhamm`ân.
12. Mufrâdât Alfâzhil-Qur`ân.
13. Musnad ‘Abd bin Humaid.
14. Musnad al-Humaidi.
15. Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhaini. Karya Imam al-Hakim an-Naisaburi.
16. Musnad Imam Ahmad.
17. Qathî`atur Rahim; al-Mazhâhir al-Asbâb Subulul ‘Ilâj, oleh Syaikh Muhammad Ibrahim al-Hamd.
18. Shahîh al-Bukhari.
19. Shahîh Ibni Hibban.
20. Shahîh Ibni Khuzaimah.
21. Shahîh Muslim.
22. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah.
23. Sunan Abu Dawud.
24. Sunan an-Nasâ`i.
25. Sunan at-Tirmidzi.
26. Sunan Ibni Majah.
27. Syarah Shahîh Muslim.
28. Syarhus Sunnah lil Imam al-Baghawi.
29. Tafsîr Ibni Jarir ath-Thabari, Cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut.
30. Tafsîr Ibni Katsir, Cet. Darus-Salam, Riyadh.