Nama lengkapnya Fariduddin Abu Hamid Muhammad bin Ibrahim, namun lebih dikenal dengan sebutan Ath-Thar, si penyebar wangi. Meskipun sedikit yang diketahui tentang riwayat hidupnya, dapat dikatakan bahwa ia dilahirkan pada 1120 Masehi dekat Nisapur, Persia. Berdasarkan catatan pribadinya yang tersebar di sejumlah tulisannya, Ath-Thar melewatkan tiga belas tahun masa mudanya di Meshed.
Suatu hari, konon Ath-Thar sedang duduk dengan seorang kawannya di depan pintu kedainya, ketika seorang darwis datang mendekat, singgah sebentar, mencium bau wangi, kemudian menarik nafas panjang dan menangis. Ath-Thar mengira darwis itu berusaha hendak membangkitkan belas kasihan mereka, lalu menyuruhnya pergi.
“Baik," kata si darwis. "Tak ada satu pun yang menghalangi aku meninggalkan pintumu dan mengucapkan selamat tinggal pada dunia ini. Apa yang kupunya hanyalah khirka lusuh ini. Tetapi aku sedih memikirkanmu, Ath-Thar. Mana mungkin kau pernah memikirkan maut dan meninggalkan segala harta duniawi ini?”
Ath-Thar menjawab bahwa ia berharap akan mengakhiri hidupnya dalam kemiskinan dan kepuasan sebagai seorang darwis.
“Kita tunggu saja,” kata darwis itu, dan segera sesudah itu ia pun merebahkan diri dan mati.
Peristiwa ini menimbulkan kesan yang mendalam di hati Ath-Thar sehingga ia meninggalkan kedai ayahnya, menjadi murid Syekh Buknuddin yang terkenal, dan mulai mempelajari sistem pemikiran Sufi, dalam teori dan praktik.
Hampir 40 tahun lamanya ia mengembara ke berbagai negeri, belajar di pemukiman-pemukiman para syekh dan mengumpulkan tulisan-tulisan para sufi yang saleh, sekalian dengan legenda-legenda dan cerita-cerita mereka.
Setelah itu Ath-Thar kembali ke Nisapur, di mana ia melewatkan sisa hidupnya. Konon ia memiliki pengertian yang lebih dalam tentang alam pikiran sufi dibandingkan dengan siapa pun di zamannya. Ia menulis sekitar 200.000 sajak, 114 buku, termasuk masterpiece-nya, Musyawarah Burung.
Semasa hidupnya, selain menulis Musyawarah Burung, ia juga menulis prosa yang tak kurang tenarnya; Kenang-Kenangan Para Sufi dan Buku Bijak Bestari. Musyawarah Burung yang ditulis dalam gaya sajak alegoris ini, melambangkan kehidupan dan ajaran kaum sufi.
Kendati Ath-Thar merupakan salah seorang guru sufi besar dalam literatur klasik, dan pengilham Rumi, dongeng dan ajaran-ajaran guru-guru Sufi dalam karyanya Kenang-Kenangan Para Sufi, harus menunggu hampir tujuh setengah abad untuk diterjemahkan dalam bahasa Inggris.
Ath-Thar hidup sebelum Jalaluddin Rumi. Ketika ditanya siapa yang lebih pandai di antara keduanya itu, seorang menjawab, “Rumi membubung ke puncak kesempurnaan bagai rajawali dalam sekejap mata. Ath-Thar mencapai tempat itu juga dengan merayap seperti semut.
Padahal Rumi sendiri berkata, “Ath-Thar ialah jiwa itu sendiri.”
Ajaran-ajaran Ath-Thar banyak disertai gambaran-gambaran biografi, fabel, pepatah dan apologi, yang tidak hanya mengandung ajaran moral tetapi kiasan-kiasan yang menggambarkan tentang tahap-tahap khusus perkembangan manusia. Misalnya dalam Musyawarah Burung, ia membuat sketsa tahap-tahap individual dalam kesadaran manusia, meski hal ini direpresentasikan sebagai kejadian terhadap individu yang berbeda atau terhadap suatu komunitas seluruhnya.
Ath-Thar menggunakan tema suatu 'perjalanan' atau 'pencarian' sebagai analogi dari tahap-tahap keberhasilan jiwa manusia dalam mencari kesempurnaan.
Tradisi-tradisi sufisme menegaskan bahwa karya Ath-Thar sangat penting, karena dengan membaca secara keseluruhan akan membantu menegakkan struktur sosial dan standar etika Islam. Sementara seleksi-seleksi khususnya mengandung materi inisiator yang tersembunyi oleh bagian-bagian teologikal yang berat.
Ath-Thar menolak untuk menerima tanda jasa dari kaki tangan penjajah Mongolia, di Asia Tengah. Ia dikabarkan wafat di tangan tentara Jengis Khan, setelah membubarkan murid-muridnya—dengan mengirim mereka ke tempat-tempat aman—ketika memprediksi invasi Mongol pada abad ke-13. Ia diperkirakan meninggal dunia sekitar tahun 1230, dalam usia 110 tahun.
Sunber: Republika.co.id
Suatu hari, konon Ath-Thar sedang duduk dengan seorang kawannya di depan pintu kedainya, ketika seorang darwis datang mendekat, singgah sebentar, mencium bau wangi, kemudian menarik nafas panjang dan menangis. Ath-Thar mengira darwis itu berusaha hendak membangkitkan belas kasihan mereka, lalu menyuruhnya pergi.
“Baik," kata si darwis. "Tak ada satu pun yang menghalangi aku meninggalkan pintumu dan mengucapkan selamat tinggal pada dunia ini. Apa yang kupunya hanyalah khirka lusuh ini. Tetapi aku sedih memikirkanmu, Ath-Thar. Mana mungkin kau pernah memikirkan maut dan meninggalkan segala harta duniawi ini?”
Ath-Thar menjawab bahwa ia berharap akan mengakhiri hidupnya dalam kemiskinan dan kepuasan sebagai seorang darwis.
“Kita tunggu saja,” kata darwis itu, dan segera sesudah itu ia pun merebahkan diri dan mati.
Peristiwa ini menimbulkan kesan yang mendalam di hati Ath-Thar sehingga ia meninggalkan kedai ayahnya, menjadi murid Syekh Buknuddin yang terkenal, dan mulai mempelajari sistem pemikiran Sufi, dalam teori dan praktik.
Hampir 40 tahun lamanya ia mengembara ke berbagai negeri, belajar di pemukiman-pemukiman para syekh dan mengumpulkan tulisan-tulisan para sufi yang saleh, sekalian dengan legenda-legenda dan cerita-cerita mereka.
Setelah itu Ath-Thar kembali ke Nisapur, di mana ia melewatkan sisa hidupnya. Konon ia memiliki pengertian yang lebih dalam tentang alam pikiran sufi dibandingkan dengan siapa pun di zamannya. Ia menulis sekitar 200.000 sajak, 114 buku, termasuk masterpiece-nya, Musyawarah Burung.
Semasa hidupnya, selain menulis Musyawarah Burung, ia juga menulis prosa yang tak kurang tenarnya; Kenang-Kenangan Para Sufi dan Buku Bijak Bestari. Musyawarah Burung yang ditulis dalam gaya sajak alegoris ini, melambangkan kehidupan dan ajaran kaum sufi.
Kendati Ath-Thar merupakan salah seorang guru sufi besar dalam literatur klasik, dan pengilham Rumi, dongeng dan ajaran-ajaran guru-guru Sufi dalam karyanya Kenang-Kenangan Para Sufi, harus menunggu hampir tujuh setengah abad untuk diterjemahkan dalam bahasa Inggris.
Ath-Thar hidup sebelum Jalaluddin Rumi. Ketika ditanya siapa yang lebih pandai di antara keduanya itu, seorang menjawab, “Rumi membubung ke puncak kesempurnaan bagai rajawali dalam sekejap mata. Ath-Thar mencapai tempat itu juga dengan merayap seperti semut.
Padahal Rumi sendiri berkata, “Ath-Thar ialah jiwa itu sendiri.”
Ajaran-ajaran Ath-Thar banyak disertai gambaran-gambaran biografi, fabel, pepatah dan apologi, yang tidak hanya mengandung ajaran moral tetapi kiasan-kiasan yang menggambarkan tentang tahap-tahap khusus perkembangan manusia. Misalnya dalam Musyawarah Burung, ia membuat sketsa tahap-tahap individual dalam kesadaran manusia, meski hal ini direpresentasikan sebagai kejadian terhadap individu yang berbeda atau terhadap suatu komunitas seluruhnya.
Ath-Thar menggunakan tema suatu 'perjalanan' atau 'pencarian' sebagai analogi dari tahap-tahap keberhasilan jiwa manusia dalam mencari kesempurnaan.
Tradisi-tradisi sufisme menegaskan bahwa karya Ath-Thar sangat penting, karena dengan membaca secara keseluruhan akan membantu menegakkan struktur sosial dan standar etika Islam. Sementara seleksi-seleksi khususnya mengandung materi inisiator yang tersembunyi oleh bagian-bagian teologikal yang berat.
Ath-Thar menolak untuk menerima tanda jasa dari kaki tangan penjajah Mongolia, di Asia Tengah. Ia dikabarkan wafat di tangan tentara Jengis Khan, setelah membubarkan murid-muridnya—dengan mengirim mereka ke tempat-tempat aman—ketika memprediksi invasi Mongol pada abad ke-13. Ia diperkirakan meninggal dunia sekitar tahun 1230, dalam usia 110 tahun.
Sunber: Republika.co.id
Comments :
0 komentar to “Fariduddin Ath-Thar, Si Penyebar Wangi”
Posting Komentar